Welcome ...

Tuesday, September 17, 2013

Resensi Novel “Sang Pemimpi”

TANPA MIMPI KITA MATI

Judul buku        : Sang Pemimpi
Pengarang         : Andrea Hirata
Penyunting        : Imam Risdiyanto
Penerbit            : Penerbit Bentang (PT Bentang Pustaka)
Tahun terbit       : 2006
Tebal buku        : x + 230 halaman

Sukses dengan novel pertamanya yang langsung menjadi best seller, Laskar Pelangi, Andrea Hirata mengeluarkan novel keduanya, Sang Pemimpi, yang masih merupakan tetralogi dari Laskar Pelangi.
Andrea Hirata, lahir di Belitong tanggal 24 Oktober 1982. Hidup dengan segala keterbatasan cukup mempengaruhi pribadinya sedari kecil. Ia amat menggemari sains-fisika, kimia, biologi, astronomi, dan tentu saja sastra, meskipun studi mayornya ekonomi. Andrea lebih mengidentikkan dirinya sebagai seorang akademis dan backpacker.  Andrea berpendidikan ekonomi dari Universitas Indonesia. Ia mendapat beasiswa Uni Eropa untuk studi master of science di Universitas de Paris, Sorbonne, Prancis dan Sheffield Hallam University United Kingdom.

Tesis Andrea di bidang ekonomi telekomunikasi,emdapat penghargaan dari kedua universitas tersebut dan ia lulus cum laude. Tesis itu telah diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia dan merupakan buku teori ekonomi telekomunikasi pertama yang ditulis oleh orang Indonesia. Buku tersebut telah beredar sebagai referensi ilmiah.
 Masih sama dengan novel pertamnya, dalam novel ini, Andrea Hirata menceritakan tentang kehidupan bocah Belitong yang tak pernah berhenti bermimpi. Tiga tokoh dalam novel ini (Ikal, Arai, dan Jimbron) memiliki ciri khas masing-masing. Mereka memiliki jiwa juang yan tinggi, terutama Ikal dan Arai.
Dimulai dari perjumpaan Ikal dengan Arai, kisah mereka pun berlanjut. Arai, seorang bocah yatim piatu pada saat usianya masih sangat muda. Waktu ia kelas satu SD,enam tahun umurnya, ibunya wafat saat melahirkan adiknya. Lalu Arai tinggal berdu dengan ayahnya. Kepedihn belum mau menjauhi Arai. Menginjak kelas tiga SD, ayahnya juga wafat. Aria menjadi yatim piatu, sebatang kara. Akhirnya, ia dipungut oleh keluarga Ikal, yang masih memiliki hubungan darah dengannya.
Hidup di bawah satu atap yang sama menjadikan Ikal dan Arai menjadi semakin dekat. Apalagi jarak antara Ikal dan abangnya sangat jauh. Mereka selalu melekat ke sana kemari. Di rumah, mereka menempati kamar yang sama. Walaupun kamar mereka merupakan gudang peregasan (peti papan besar tempat menyimpan padi), namun hal itu tetap membuat mereka senang. Sejak kecil mereka sudah meencoba beberapa pekerjaan untuk mencari uang, mulai dari mencari akar banar untuk dijual kepada penjual ikan, mengambil akar purun yang dijual kepada pedagang kelontong, dan lain sebagainya.
Di desa mereka, ada tiga orang tokoh agama yang sangat disegani, yaitu Taikong Hamim, Haji Satar, dan Haji Hazani. Kepada merekalah Ikal, Arai dan anak-anak lain di desa mereka mengaji. Di bawah asuhan ketiga tokoh tadilah Ikal dan Arai bertemu dengan Jimbron, yang juga yatim piatu. Setelah kedua orangtuanya wafat, Jimbron diasuh oleh seorang pendeta, Pendeta Geovanny. Ia gagap, tapi tak selalu. Jika ia panik atau sedang bersemangat maka ia gagap. Jika suasana hatinya sedang nyaman, ia berbicara senormal orang biasa. Di samping itu, Jimbron sangat menyukai kuda. Meskipun ia belum pernah melihat kuda secara langaung, tapi ia mengenal seperti ia penah melihatnya.
Bersekolah di sekolah yang sama, SMA Negeri di Magai (SMA Bukan Main), membuat persahabtan mereka semakin erat. Setelah lulus SMP mereka menyewa sebua los di Magai dan berpisah dengan keluarga. Agar dapat bertahan hidup mereka pun bekerja sebagai kuli ngambat, dengan terlebih dahulu mencoba menjadi penyelam di padang golf (mengambil bola golf yang tercebur ke dalam danau dengan kedalaman lebih dari tujuh meter yang penuh dengan buaya-buaya besar) dan part time office boy di kompleks kantor pemerintahan (masuk kerja subuh dan menyiapkan ratusan gelas teh dan kopi, akan tetapi tidak dibayar selama berbulan-berbulan).
Di sekolah, Ikal dan Arai termasukk anak-anak yang berprestasi, selalu masuk peringkat teratas. Impian tertinggi mereka yaitu ingin sekolah ke Prancis, menginjakkan kaki di altar suci almamater Sorbonne. Karena impian yang begitu tinggi, mereka pun rela bekerja keras setiap hari demi mendapatkan ilmu sebagai bekal masa depannya.
Akan tetapi pernah pada suatu ketika semangat Ikal menurun. Ia berubah menjadi pesimistis. Ia memiliki pandangan bahwa semakin seseorang dewasa, hidup menjadi semakin tak mudah. Ikal yang biasanya antusias mendengar cerita Pak Balia (guru kesustraan), saat itu hanya diam menundukkan kepala. Hingga akhirnya peringkatnya pun turun dari peringkat tiga menjadi tujuh puluh lima. Akan tetapi setelah mendengar bentakan-bentakan sang sahabat, Arai, semangat Ikal kembali.
Berbagai pengalaman menarik mereka jumpai. Mulai dari melakukan penyamaran demi dapat menonton di bioskop hingga akhirnya tertangkap basah oleh Pak Mustar (guru killer di sekolah) dan dihukum untuk memainkan adegan dalam film tersebut di depan seluruh warga sekolah.
Petualangan mereka berlanjut setelah mereka lulus sekolah. Ikal dan Arai berencana untuk merantau ke Pulau Jawa. Dan saat mereka akan berangkat, Jimbron menyerahkan dua buah celengan kuda, yang isinya telah ia tabung sejak lama, kepada mereka berdua sebagai bekal merantau. Sedangkan ia sendiri memilih tetap tinggal di Magai, bekerja di peternakan untuk mengurus kuda.
Awalnya, sesampainya di Tanjung Priok mereka ingin langsung menuju Ciputat, sesuai petunjuk nahkoda yang mengantar mereka ke Pulau Jawa. Akan tetapi, mereka malah tersesat di Bogor, kota yang sama sekali asing bagi mereka berdua. Mereka menyewa kamar kos di sebuah kampong di belakang Institut Pertanian Bogor (IPB). Di bogor, mereka bekerja sebagai door to door salesman, bekerja di pabrik tali dan kios fotokopi. Mereka juga mendaftar sebagai pegawai pos. Ikal yang lolos tes seleksi mendapat jebatan sebagai juru sortir, sedangkan Arai kembali memfotokopi.
Ikal sangat rindu pada sahabat terbaiknya itu. Ia pun pulang ke Bogor, ke rumah kos tempat mereka tinggal. Akan tetapi tak ada siapa-siapa di sana, hanya sepucuk surat yang tergeletak di bawah pintu. Arai telah berangkat ke Kalimantan.
Tahun berikutnya Ikal diterima di UI. Ia pun mengatur jadwal shift menyortir surat sesuai dengan kesibukan kuliah. Setelah lulus kuliah, masih sebagai plonco fresh graduate, ketika membaca sebuah pengumuman beasiswa strata dua yang diberikan Uni Eropa kepada sarjana-sarjana Indonesia. Ikla pun belajar mati-matian untuk bersaing memperebutkan beasiswa itu. Setelah melalui berbagai tes yang panjang, akhirnya ia sampai pada wawancara akhir.
Ikal telah melaksanakan wawancara tersebut saat ia berjalan melewati sebuah koridor dengan pintu yang berbaris di kiri kanannya. Di depan sebuah ruangan ia tertegun, langkahnya terhenti karena ia mendengar suara samar. Ia mendengar perdebatan dua orang di dalam ruangan itu. Dan saat orang yang sangat ia kenali keluar, ia langsung memeluknya. Ya, orang tersebut adalah sahabat lamanya. Sahabat terbaik yang pernah ia miliki. Arai. Ternyata Arai juga melamar beasiswa itu. Diam-diam ia kos di Jakarta dan memang berniat menemui Ikal saat wancara akhir tersebut.
Ikal mengundurkan diri dari Kantor Pos Bogor. Dan untuk pertama kalinya Ikal dan Arai pulang kampung ke Belitong. Sesampainya di sana mereka bertemu dengan Jimbron dan Laksmi (istrinya) serta anak-anaknya. Jimbron tergagap-gagap melihat kedatangan mereka berdua. Mereka pergi ke Magai, mengenang masa-masa saat mereka menjalani hri-hari sebagai kuli ngambat.
Berbulan-bulan Ikal dan Arai menunggu keputusan penguji beasiswa. Hingga suatu hari saat yang ditunggu-tunggu tersebut datang. Mereka membuka surat tersebut dengan hati berdebar-debar. Dan yang sangat mengejutkan, mereka berdua lulus. Kedua orangtua Ikal mengucapkan Alhamdulillah berulang-ulang dan memeluknya dengan bangga. Sedangkan Arai menangis tersedu-sedu sambil membekap erat foto ayah-ibunya dan surat keputusan beasiswa itu. Ia menangis karena tak tahu kepada siapa kegembiraannya itu akan ia ceritakan.
Dengan semangat, kemauan, kerja keras, dan tentu saja mimpi-mimpi yang selama ini mereka miliki, akhirnya Ikal dan Arai diterima di universitas yang selama ini mereka impi-impikan, Université de Paris, Sorbonne, Prancis.
Dari segi fisik, Sang Pemimpi memiliki banyak kelebihan. Salah satu contohnya yaitu kertas yang digunakan yaitu kertas HVS, bukan kertas buram atau sebagainya sehingga buku terlihat lebih bersih dan menarik untuk dibaca. Bahasa yang digunakan pun lugas dan tidak berbelit-belit, namun tetap ada beberapa majas sebagai pemanis cerita. Banyak juga terdapat kata-kata mutiara yang bersifat membangun, seperti “Maka berkelanalah di atas muka bumi ini untuk menemukan mozaikmu” dan masih banyak lagi.
Hampir tidak terdapat kelemahan dalam buku ini. Mungkin satu-satunya kelemahan hanya terdapat pada cover saja. Sebenarnya novel ini memiliki cover yang cukup menarik, namun akan lebih menarik lagi apabila diberi warna yang sedikit lebih cerah atau dapat pula diberi gambar yang lebih menarik.

Sang Pemimpi, novel best seller ini, merupakan buku yang wajib dibaca oleh para pecinta novel Indonesia, terutama bagi para pelajar. Karena selain menarik, cerita dalam novel ini juga sangat menginspirasi para pembacanya. Banyak pelajaran berharga yang dapat dipetik dari cerita di dalamnya, seperti semangat juang mereka yang tinggi dalam mengejar cita-cita yang mereka impikan sejak kecil, maupun persahabatan yang mereka jalin dengan penuh keikhlasan dan ketulusan. Selain itu, di dlam novel ini juga diceritakan tentang bagaimana Arai memperjuangkan cintanya kepada Nurmala (teman SMA). Meskipun Nurmala selalu mengacuhkan usahanya, namun Arai tak pernah patah arang. Ia menganggap hal itu sebagai tantangan yang harus ia hadapi. 

No comments:

Post a Comment