SELALU ADA BALASAN UNTUK SETIAP PERBUATAN
Judul buku : Lidah
Pengarang : Ni Komang Ariani
Pengantar : Hamsad Rangkuti
Penerbit : Penerbit Pustaka Pergaulan
Tahun terbit : 2008
Tebal buku : x + 110 halaman
Buku kumpulan cerpen
karangan Ni Komang Ariani ini, Lidah,
berisi cerpen-cerpen terbaiknya dengan tema-tema sederhana cerminan berbagai
peristiwa yang terjadi di kehidupan nyata. 14 cerita pendek dalam buku ini memiliki
tema yang sesuai dengan kehidupan kita sehari-hari.
Ni Komang Ariani,
wanita kelahiran Gianyar, Bali, 19 Mei 1978 ini merupakan lulusan Universitas
Ailangga jurusan Ilmu Komunikasi (2002). Tahun berikutnya ia bekerja sebagai
penyiar radio berita Global FM Bali, dan pada bulan Oktober pindah ke Jakarta
sebagai penyiar dan wartawan KBR 68H sampai Maret 2006. Sempat juga ia menjadi
pekerja free lance di Perusahaan PR,
IraKoesno Communication. Saat ini, selain bekerj sebagai penulis, ia juga
bekerja sebagai pengajar di ELTI Gramedia.
Cerpen-cerpen Ni
Komang telah banyak dimuat di berbagai media massa cetak, seperti Harian Kompas, Harian Suara Pembaruan, Koran
Sindo, Harian Bali Post, Harian Jurnal Nasional, Majalah Chic, dan Majalah Kartini. Pada tahun 2007,ia
menadi salah satu pemenang berbakat dalam Lomba Cerpen bertema Lingkungan Hidup
yang diadakan oleh Tabloid Parle melalui cerpennya Kemana Iyah Sewaktu Bajir. Ia juga menjadi juara I Lomba Menulis
Cerita Bersabung yang diadakan oleh Majalah Femina melalui noveletnya yang
berjudul Nyanyi Sunyi Celah Tebing pada
tahun 2008. Selain itu, ia juga meraih penghargaan sebagai pemenang harapan
dalam lomba cerpen yang digelar situs Kolomkita melalui cerpennya Perempuan-perempuan Berjengger.
Cerpen-cerpen dalam
buku Ni Komang, selain memiliki tema yang sederhana, alurnya pun tidak berbelit-belit.
Cerita-cerita di dalamnya seperti Kemana
Iyah Sewaktu Banjir, Pasangan Muda, Pembalasan si Ibu Hamil, Pisau Aneh dalam
Rumah, Senja di Pelupuk Mata, Seorang Ibu dengan Dua Bayi, Sepotong Kejujuran
dari Wina, dan 7 cerita pendek lainnya menceritakan kisah dengan konflik
yang berbeda-beda namun tetap menggambarkan kehidupan kita sehari-hari.
Dalam cerpennya yang
berjudul Senja di Pelupuk Mata misalnya.
Dalam cerpen tersebut dikisahkan sepasang suami-istri yang sudah tua merasa
kesepian karena ketiga putrinya yang telah menikah mengikuti jejak suami mereka
masing-masing ke daerah asalnya. Tak satu pun dari ketiganya mengunjungi
orangtua mereka di kampung. Bahkan, mengirimi uang pun tidak.
Keadaan tersebut
membuat pasangan suami-istri tersebut merenungi kehidupan mereka sebelumnya. Sang
suami yang dahulu senang menyabung ayam merenungi bagaimana ia pernah merasakan
kejayaannya dahulu bersama ayam jago kesayangannya dan kematian puluhan ayam
jago lain yang pernah ia adu. Kini ia merasakan bagaimana rasanya menunggu ajal
yang setiap saat datang menjemputnya. Sedangkan sang istri, ia ingat betul
bagaimana ia dan suaminya tersebut meninggalkan orangtuanya saat menikah.
Mungkin itulah karma bagi mereka berdua atas apa yang pernah mereka perbuat di
masa lalu.
Berbeda dengan Senja di Pelupuk Mata, cerpen lain dalam
buku ini, Pisau Aneh dalam Rumah,
menceritakan tentang sebilah pisau berujung runcing yang misterius. Mata
pisaunya yang tajam membangkitkan rasa bergidik. Cerpen ini memainkan emosi
pembaca dengan meyodorkan sejumlah prasangka dalam alur ceritanya.
Tokoh suami, yang
sejak awal penasaran dengan sebilah pisau yang ada di rumahnya, merasakan
jantungnya berdesir setiap melihatnya. Ia pun menceritakan hal tersebut pada
istrinya, namun sang istri hanya tertawa. Sang suami pun memerintahkan sang
istri untuk membuang pisau tersebut. Awalnya, sang istri menolak karena baginya
dan si pembantu pisau itu dianggap pisau yang paling baik di antara pisau
lainnya, karena selain tajam pisau tersebut juga tidak mudah berkarat. Namun
setelah dipaksa sang suami, pisau itu dibuang ke dalam bak sampah. Tapi aneh,
esok harinya sang suami menemukan pisau tersebut telah ada di rak piring. Ia
bergidik. Secepat kilat ia buang pisau itu di tempat sampah di depan rumahnya.
Ia kubur dalam-dalam pisau tersebut.
Belakangan ia tahu
bahwa pembantunyalah yang memindahkan pisau tersebut dari tempat sampah ke rak
piring. Beberapa hari kemudian, sang suami sedang memilih pisau pada penjual
pisau keliling saat tatapannya tertuju pada sesuatu yang berkilauan di pojok
gerobak. Ia yakin ia melihat pisau aneh itu. Ia merasa pisau itu selalu mencari
jalan untuk bisa kembali ke rumahnya. Pisau tersebut seperti membawa misi yng
belum selesai. Ia pun bergidik. Keesokan harinya ia memerintahkan keluarganya
untuk mengemasi pakaian mereka masing-masing dan berangkat ke rumah Oma di
Bogor. Ia memutuskan untuk tinggal beberapa hari di sana.
Selain dua cerpen
tersebut, cerpen lain dalam buku ini juga tidak kalah menarik untuk dibaca,
terutama bagi para pecinta cerita pendek Indonesia. Tema-tema sederhana dan
cerita dengan konflik yang menggambarkan kehidupan sehari-hari menjadi daya
tarik tersendiri buku kumpulan cerpen karangan Ni Komang ini. Keunikan sudut
pandang (dalam cerpen Menyusu Knalpot
Persimpangan misalnya, pengarang menggunakan sudut pandang seorang anak
bayi), pelukisan suasana serta kepiawaian berbahasa menjadi nilai plus buku ini. Ide yang digunakan dalam
beberapa cerpennya banyak yang tidak terpikirkan oleh masyarakat, namun dapat
dikembangkan menjadi sebuah cerita oleh pengarang. Dialog kaku banyak dijumpai
dalam beberapa cerita pendek, hal itu dikarenakan pengarang menirukan persis
apa yang dikatakan orang dalam kenyataannya.
Namun ada juga
satu-dua cerita yang alur maupun temanya sulit untuk dipahami pembaca, terutama
pelajar. Selain itu, ada kekurangan lain dari buku kumpuln cerpen ini. Cover misalnya. Gambar yang terlukis
pada cover yaitu benda panjang
berwarna merah yang melilit badan seseorang. Mungkin akan lebih menarik apabila
ditambah beberapa gambar pendukung di sekitarnya. Namun terlepas dari segala
kekurangannya, banyak nilai-nilai kehidupan yang dapat kita ambil dari
cerita-cerita pendek dalam buku ini.
No comments:
Post a Comment